image alt

CENTRALAGROLESTARI-Dalam dekade terakhir ini, permintaan pangan berkualitas, sehat dan aman dikonsumsi, serta ramah terhadap lingkungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan data kebutuhan akan pasar produk organik, kebutuhan dunia akan Produk Organik mencapai lebih dari $ 20 milyar dengan peningkatan ratarata sebesar 20%/th (Badan Litbang Pertanian, 2005). Total luas areal tanaman organik di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai lebih dari 225 ribu ha, dan baru sekitar 90 ribu ha atau sekitar 40% yang telah tersertifikasi atau mendapatkan sertifkat organik baik dari Lembaga sertifikasi organik (LSO) nasional dan internasional. Diharapkan dengan sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan, dan akses pasar yang baik maka jumlah luas areal organik yang disertifkasi akan terus meningkat. Dilaporkan pula bahwa dari total areal organik yang telah disertifikasi, hanya sekitar 25% telah sertifkasi oleh LSO nasional. Sudah sejak lama LSO Internasional melakukan sertifikasi beberapa komoditas perkebunan, diantaranya adalah kopi organik Gayo, Nanggro Aceh Darussalam yang sudah lama dikenal di manca negara.

Dari beberapa definisi tentang Pertanian Organik salah satu badan dunia yang mengatur regulasi Produk organik yang berpusat di Eropa yaitu, International Federation Organic Association (IFOAM) mendefinisikan sebagai suatu proses produksi makanan dan serat yang dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial, menguntungkan secara ekonomi, dan berkelanjutan secara agro-ekosistem. Di dalam SNI 6729 : 2013, Sistem Pertanian Organik melarang penggunaan pupuk dan pestisida kimia dalam budidaya tanaman pangan dan perkebunan, serta penggunaan pakan dan hormon sintetik untuk budidaya ternak (BSN, 2013). Untuk menghindari pengaruh akibat penggunaan pengubahan materi genetik yang tidak alami. Sistem Pertanian Organik juga melarang penggunaan benih yang berasal dari organisme hasil modifikasi genetik atau genetic modified organism/GMO (Kementerian Pertanian, 2013).

Selain menghasilkan produk yang bermutu tinggi, Sistem Pertanian Organik bersifat ramah lingkungan dengan mencegah segala bentuk pencemaran kimia baik melalui air maupun udara. Dalam berbudidaya organik, para pelaku usaha atau produsen organik dilarang melakukan pembakaran lahan yang umum terjadi pada sistem ladang berpindah, serta wajib mengendalikan erosi pada lahan yang berlereng bertanam dengan sistem kontur, pengunaan tanggul dan pengolahan tanah secara minimal dan terbatas. Sebagai negara tropis yang tergolong subur, dan bisa menanam sepanjang tahun, Indonesia sangat potensial menjadi produsen produk pertanian organik utama dunia. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah meluncurkan program Go Organik 2010 pada Mei 2010 yang lalu. Sudah lebih dari 12 tahun Pemerintah telah merintis pembangunan pertanian organik di Indonesia dengan menerbitkan Panduan Sistem Pertanian Organik dalam bentuk SNI 6709 : 2002. Pada regulasi tersebut hanya dua lingkup kegiatan sertifikasi yang dicakup dalam SNI 6729 tahun 2002 antara lain lingkup (1) produk tanaman dan ternak, dan (2) produk olahan primer tanaman dan ternak konsumsi manusia dan ternak. Sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan produsen dan pelaku usaha pertanian organik pada umumnya, maka tahun 2013 telah diperluas ruang lingkup kegiatan sertifikasi dengan bertambahnya lingkup benih, pupuk dan pestisida organik (SNI 6729:2013).

Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap produk organik yang mempunyai nilai tambah yang cukup nyata, maka muncul pelaku usaha yang melakukan tindak tindakan yang tidak terpuji dengan melabel dan menjual produk konvensional mereka sebagai produk organik. Untuk menekan kerugian masyarakat konsumen produk organik, maka Pemerintah dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional bersama-sama dengan Otoritas Kompeten Pertanian Organik (OKPO) telah mensosialisasikan aturan sertifikasi dan mengharuskan bagi semua pelaku usaha pertanian organik untuk mensertifkasikan semua produk organiknya ke Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) nasional yang telah terakreditasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) ataupun LSO Internasional. Sampai saat ini di Indonesia ada delapan LSO yang terdaftar dan terakreditasi oleh KAN antara lain Sucofindo, MAL, INOFICE, Sumbar, Lesos, Biocert, Persada, dan SDS (Hidayat, 2014). Disamping sebagai penjamin bagi konsumen produk organik, ada beberapa manfaat lain dari program sertifikasi antara lain:

1. Memberi jaminan terhadap produk PO yang tersertifikasi dan memenuhi persyaratan sistem PO nasional (SNI 6729:2013) dan internasional (Codex & IFOAM) dengan kewajiban memasang logo Organik Indonesia yang pada setiap kemasan produk organik.

2. Melindungi konsumen dan produsen dari manipulasi atau penipuan produk PO yang tercela dan memiliki ancaman tindak pidana bagi pemalsu produk organik.

3. Menjamin praktek perdagangan yang etis dan adil baik bagi produsen maupun konsumen produk organik.

4. Memberikan nilai tambah pada produk organik dan mendorong meraih akses pasar baik di dalam maupun di luar negeri.

5. Mendukung Program Go Organik Indonesia yang telah diluncurkan sejak tahun 2010 yang lalu mendukung Indonesia sebagai produsen pertanian organik utama dunia. Secara umum, proses sertifikasi pertanian organik di Indonesia termasuk, mudah, namun demikian, kurangnya pemahaman dan beragamnya kesiapan para calon produsen atau pelaku usaha pertanian organik terhadap butir-butir aturan yang terdapat di dalam SNI Pertanian Organik yang menyebabkan terhambatnya proses sertifikasi tersebut. Materi SNI 6729:2013 dengan mudah dapat diunduh dari www.bsn.go.id, atau langsung bisa mendapatkan dari LSO pada saat pendaftaran. Di dalam SNI 6729:2013 Lampiran B dicantumkan tatacara dan aturan penggunaan bahan yang dilarang, diperbolehkan, dan yang diperbolehkan secara terbatas , sedangkan aturan tatacara inspeksi dan sertifikasi dapat dilihat pada Lampiran C. Aturan penggunaan bahan yang diterbitkan bisa berbeda antar negara produsen. Sebagai contoh, di Indonesia dan beberapa negara yang mayoritasnya beragama Islam melarang penggunaan pupuk yang berasal dari kotoran babi dan manusia.

.

-